Perjalanan Hidup Imam Zamroni

Saya dilahirkan di Desa Jungpasir Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, pada tanggal 15 Januari 1978. Terlahir dari Rahim seorang ibu Muhlishah, seorang guru TK yang dikenal dengan panggilan Bu Lis. Saya tak begitu mengenal Bapak, karean di usia empat tahun beliau sudah dipanggil kembali ke haribaan Ilahi. Saya hanya kenal namanya, Abdul Choliq. Saya hanya mengenalinya lewat jejak foto-foto dan karya-karyanya. Menurut cerita orang-orang yang mengenalinya, terutama dari Ibu, beliau sosok yang kreatif dan aktif berkesenian di organisasi Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia) sebuah lebaga otonom di bawah ormas Nahdlatul Ulama (NU).

Menjalani masa kecil dalam kondisi yatim, di kampung memaksa kami ikut membantu Ibu mencari nafkah dengan berjualan makanan di depan sekolah TK Budi Luhur, di kompleks balai Desa. Ya, saat saya masih TK Nol Besar yang masuk sekitar jam 10. Mesti berjualan untuk adik-adik kelas Nol Kecil. Sejak kecil Saya sudah mengenal uang. Memasuki SD, saya juga membawa jajanan ke sekolah. Saya masukkan ke kelas-kelas, lalu memungut uangnya saat jam istirahat tiba. Keras masa kecil Saya, tapi Saya masih bisa menikmatinya, terutama saat bisa main di sawah, sekali-kali mencuri terong, makan semangka biji di sawah dengan modal sendok. Bahkan kadang diminta ngangsu air oleh guru, saat kemarau. Tetapi prestasi tetap selalu juara satu, mungkin karena dorongan sebagai anak guru, walaupun cuma guru TK.

Memasuki kelas 4 SD, kondisi Ibu mulai sulit secara keuangan, kedua kakak Saya mulai masuk sekolah SMP dan SMA, mulai perlu biaya lebih. Akhirnya Saya dan adik, dititipkan ke sebuah Yayasan di bawah Nahdlatul Ulama (NU) di kota Kudus, Panti Asuhan Darul Hadlonah. Pendidikan sadar dan menengah Saya selesaikan di Kota Kudus. Setelah lulus SD Wegu Wetan IV Kudus, lanjut ke SMP Hasyim Asy’ari lalu pada tahun 1996 menjadi lulusan terbaik dari SMA Negeri 4 Kudus, sekarang SMAN 2 Kudus.

Selepas SMA, Saya sebenarnya mendapatkan tawaran beasiswa di Fakulats Ekonomi di sebuah Universitas di Kota Kudus. Tapi pandangan anak muda, masak anak lulusan terbaik di jurusan fisika kok kuliah di fakultas Ekonomi? Apa kata dunia? Sehingga Saya memaksakan diri ikut tes UMPTN dan diterima di Teknik Sipil Universitas Indonesia, padahal sudah dilarang Ibu, karena tak mampu bayar nanti. Akhirnya benar, Saya harus berhenti sebelum ujian semester satu.

Lalu, sebagaimana kebanyakan orang kampung saya, akhirnya Saya tidak pulang kampung dan mulai ikut jualan buah di Jakarta. Belajar jualan dengan paman, hingga bisa membuka sendiri toko buah, dengan investasi dari sepupu. Hingga tahun 1998, terjadi reformasi, ekonomi hancur, inflasi tinggi. Bisnis saya bangkrut.

Sempat nganggur di kampung, lalu terpikir untuk pergi ke luar negeri. Malaysia menjadi target tujuan, karena secara biaya paling murah dibanding Hongkong, dll. Saya pamit kepada Ibu untuk merantau ke Malaysia, berangkat lewat darat dengan bus dari Semarang menuju Dumai, Riau untuk meyeberang ke Malaysia. Tapi, akhirnya terdampar di Kota Pekanbaru, dan membuka toko kelontong di Kota Pekanbaru.

Sekitar 6 bulan di Kota Pekanbaru, terpikir untuk kuliah lagi. Akhirnya mendaftar di Fakultas Ekonomi Universitas Lancang Kuning, sekedar membayar utang dulu pernah dapat tawaran beasiswa di Fekon tapi Saya tolak. Setelah menjalaninya setahun ( 2 semester), mendapatkan nilai A untuk semua mata kuliah, terasa tak ada tantangan, lalu pindah ke fakultas teknik jurusan Teknik Sipil. Menjalani kuliah sambil merintis radio dakwah Robbani 91,6 FM di Pekanbaru. Saat itu usia sudah masuk 25 tahun, Saya putuskan untuk menikah, dengan seorang guru di SDIT Ittihad Caletx Rumbai, Rohal Faza, gadis melayu Bengkalis.

Di radio bukan hanya siaran, tapi juga mengurus manajemennya. Ini memaksa saya belajar ilmu manajemen dan marketing. Secara otodidak saya membaca semua buku tulisan Guru Marketing, Hermawan Kertajaya.  Sampai akhirnya mengantarkan Saya bisa diskusi privat berdua saja dengan beliau, semacam validasi pemahaman marketing saya. Pulang dari acara tersebut, lalu saya sampaikan ke istri bahwa saya akan berhenti kuliah di Teknik Sipil dan focus ke dunia bisnis dan marketing.

Sejak saat itu, seperti terbuka jalan terang bisa belajar pada yang terbaik di Indonesia, saya berguru tentang selling dengan Coach Mc Ifle, belajar branding dengan pakar branding, pak Bi Subiakto. Bahkan bertemu dan berguru langsung dengan penemu STIFIn pak Farid Poniman. Dari sini Saya menjadi lebih mudah dalam memahami orang lain.

Sejak tahun 1999 itu, saya sudah bergabung dengan Partai Keadilan Sejahtera, saat itu masih Partai Keadilan (PK). Tahun 2004, pertama kali saya dicalegkan untuk di DPRD kota Pekanbaru, meraih suara terbanyak di dapil saya, tapi saat itu masih menggunakan nomor urut untuk bisa duduk.

Tahun 2006, pertama kali saya menangani Pilkada di Kota Pekanbaru, pasangan Erwandi – Ayat, waktu itu. Setelah pilkada selesai, Saya mendapatkan tugas untuk menjadi ketua DPD PKS Rokan Hulu, dengan focus utama melakukan PAW atas anggota DPRD yang melakukan pelanggaran Susila. Dari Kota Pekanbaru, berpindah ke Kabupaten Rokan Hulu, tanpa jejak keluarga dan tanpa kerjaan jelas. Bismillah, istri saya berhenti kerja, mengikuti saya ke daerah.

Di Rokan Hulu, penempaan leadership benar-benar mendapatkan lapangannya. Memulai dari awal dengan anak dua orang. Merintis bisnis, memperbaiki citra partai dan tentu berdakwah ke pedalaman dalam program Da’I Bina Desa Ikadi Riau ke Komunitas Adat Terasing (KAT) suku Bonai. Setiap jum’at masuk ke dalam pedalaman hutan, menggunakan mobil doble gardan.

Seiring baiknya kondisi Rokan Hulu, di tangan Bupati yang kita dukung. Listrik mulai stabil di ibu kota Kabupaten, Saya dirikan Radio Harmoni 91,8 FM, lalu berdiri juga percetakan Master Print dan alhamdulillah terus berkembang. Di politik, posisi PKS cukup diperhitungkan di kancah politik daerah.

Hingga tahun 2016, dalam Muswil PKS Riau, Saya diamanahkan menjadi Sekretaris Umum Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKS Provinsi Riau. Namun, Saya hanya sanggup mengemban amanah ini sampai tahun 2018, Saya mengundurkan diri. Saya memilih jalur lain di politik, tidak lagi di depan tapi di belakang para tokoh politik di Riau. Saya beralih menjadi konsultan, hingga saat ini.

Puluhan event politik, baik itu pileg maupun pilkada yang saya ikuti sebagai orang belakang. Terakhir Desember tahun 2020. Setelah itu, issue Pilkada serentak akan ditunda hingga 2027, karena pandemi Covid-19. Ini tentu saja akan berdampak pada profesi saya. Setelah ‘menganggur’ pada tahun 2021, akhir itu juga ketika ada pelonggaran PSBB kami pulang kampung ke Demak.

Kami mendapati rumah Ibu Saya sudah kosong, tidak ada lagi adik yang tinggal di sana. Kami tak tahu kalau dia sudah pindah ke Semarang.
Ketika kembali ke Riau, Saya hubungi Mas Saya yang menangani usaha percetakan Saya, bahwa kami sekeluarga akan pulang kampung, tinggal di rumah Ibu. Kami mengambil langkah ini, karena sebenarnya sudah ada rencana pindah ke Jawa, karena anak-anak akan kuliah di Jawa. Jadilah kami pindah ke kampung kecil Saya, Desa Jungpasir, Wedung, Demak pada bulan Desember 2021. Hobby berlari terus saja Saya lakukan, bertemu dengan komunitas lari di Demak, Kudus, Jepara dan Semarang. Dari berlari lintas alam, Saya mengenali masyarakat di sekitar Saya dan masalahnya. Kepulangan Saya ke kampung halaman, semoga bisa membantu memperbaiki nasib warganya. Pengalaman selama ini mendampingi kepala daerah dan anggota DPRD dan DPR-RI semoga bermanfaat untuk membangun kampung.